Jakarta, CNBC Indonesia – Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno berharap subsidi energi yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat harus memiliki asas keadilan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Di dalam UUD, menurut Eddy, sudah jelas siapa yang berhak menerimanya dan bagaimana tata cara penyalurannya.
“Sayangnya ada dilema yang dialami pemerintah dalam penyaluran BBM subsidi, yang seharusnya untuk dinikmati masyarakat sesuai kategori justru tidak menikmatinya,” ungkap Eddy dalam acara Coffee Morning CNBC Indonesia di Jakarta, Rabu (24/7/2024).
Sebagai contoh, kata Eddy, saat ini 80% pengguna Pertalite adalah masyarakat yang mampu. Bahkan Eddy menyebut sangat mungkin orang yang menikmati BBM subsidi, kendaraannya lebih dari satu. Mereka tidak dalam daftar penerima subsidi, tidak juga masuk kategori UMKM, bukan angkot, atau ojek, dan lain-lain.
Selain itu, dalam perhitungan subsidi LPG 3kg saat ini, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 33 ribu per tabung. Sebanyak 80% Subsidi Elpiji 3kg dinikmati orang kaya dan mampu.
“Bahkan Elpiji 3kg yang seharusnya digunakan untuk UMKM ternyata juga digunakan oleh industri-industri besar seperti resto, kafe bahkan sampai selebritas. Oleh karena itu, perlu perubahan secara mendasar skema subsidi Elpiji 3kg agar tepat sasaran dan digunakan sepenuhnya oleh mereka yang berhak,” tegas Eddy.
Secara rinci, Eddy menyebut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesnas) 2020 menunjukkan, desil 1-4 (empat kelompok masyarakat termiskin) menikmati hanya 20,7% Pertalite, sedangkan desil 5-10 (terkaya) mengonsumsi 79,3%.
Selain itu, laporan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), tercatat bahwa 40% dari subsidi BBM di Indonesia justru dinikmati oleh 20% rumah tangga terkaya.
Di sisi lain, pada tahun ini saja kompensasi untuk Solar dan Pertalite sudah mencapai Rp 163 triliun yang berarti 80%-nya justru dinikmati orang kaya dan mampu. Menurut Eddy, tidak adanya mekanisme pendistribusian tertutup untuk Pertalite dan Solar menyebabkan siapa pun bisa membeli BBM bersubsidi tersebut, termasuk si kaya sekalipun.
“Estimasi penghematan APBN jika subsidi dilakukan tepat sasaran adalah Rp 130 Triliun. Penghematan itu bisa digunakan untuk program-program percepatan pembangunan maupun menambah secara signifikan bantuan sosial untuk warga tidak mampu,” kata Eddy.
Ditambah lagi, catatan Energy Watch pada tahun 2022 lalu penghematan subsidi BBM Rp 100 triliun bisa memberikan beasiswa untuk 8,3 juta siswa, membangun 40 ribu sekolah, dan 20 ribu Puskesmas.
Oleh karena itu, Eddy menyebut penting untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Eddy menyebut beberapa hal yang bisa dilakukan seperti sosialisasi kebijakan tepat sasaran, penegakan hukum yang konsisten, data yang valid, reliable, dan terintegrasi.
“Sosialisasi dilakukan bukan dengan angka-angka yang rumit tetapi dengan penjelasan mengapa APBN harus mengurangi beban subsidi energi dan di saat yang bersamaan ada upaya serius memastikan bantuan subsidi tepat sasaran. Subsidi juga bisa diberikan langsung kepada orang bukan pada barang,” pungkas Eddy.
Next Article
Airlangga Buka Opsi Revisi Subsidi Energi Gara-Gara Iran & Israel